Tanggal 9 September 1984 saya dlahirkan di kota Pacitan. Saya adalah anak ketiga dari enam orang bersaudara.
Di usiaku ke-11, bpk saya meninggal karena serangan jantung berpulang ke Rahmatullah karena penyakit yang asma yang akut. Saya menyelesaikan pendidikan SD, SMP dan SMA berkat bantuan kakak-kakak saya yang pada waktu itu belum ada yang mapan. Belum ada yang mampu berperan sebagai pengganti orang tua seutuhnya, baik secara moril maupun materil. lima orang bersaudara membuat kami hidup dan berkembang mengikuti kemauan masing-masing, walaupun kami tetap selalu berusaha kompak. Kakak-kakak saya mencoba memikul tanggung jawab bersama atas adik-adiknya. Ada juga di antara kami yang diasuh oleh keluarga dekat.
Selepas SMA keluarga saya belum mampu membiayai kuliah saya. Akibatnya, saya terpaksa mengikuti kakak untuk berdagang. Dialah satu-satunya yang memiliki jiwa pengusaha di dalam keluarga kami, kakak-kakak yang lain ada yang pegawai negeri seperti ayah dan yang lain pegawai swasta. Bertahun-tahun saya menjalani irama perjalanan hidup sebagai pedagang, pengalaman yang memberi bekal dalam menapak bisnis perbukuan.
Semenjak mulai mengenal huruf, saya sudah senang membaca, saya membaca buku, majalah, koran dan apa saja. Saya lebih senang duduk membaca daripada ngobrol berkepanjangan. Kemanapun saya pergi saya berusaha membawa buku, khususnya buku-buku novel dan sastra terjemahan. Sebelum tidur saya biasa membaca. Saya sangat menikmati karya Boris Paternak “Dokter Zhivago” dan karya YB. Mangunwijaya, “Burung-burung Manyar”. Tanpa saya sadari, buku-buku tersebut diterbitkan oleh Penerbit Djambatan yang pemiliknya masih keluarga dekat dari pihak ibu.
Pada tahun 1996, seorang perempuan usia enampuluhan sepupu ibuku mencari saya. Dia mengaku diutus oleh Ibu Roswitha Pamuntjak, yang kemudian saya ketahui adalah Direktur dan pemilik PT Djambatan yang tak lain adalah keluarga dekat ibu saya. Beliau meminta saya datang ke kantor PT Djambatan. Ini merupakan bukti dari rasa tanggung jawabnya sebagai keluarga yang ingin membantu agar saya berkesempatan mengembangkan diri. Di luar dugaan, beliau menawarkan 50% bea siswa kepada saya untuk kuliah dan yang 50% lagi saya bayar dengan bekerja di PT Djambatan. Namun, sebelum bekerja di Djambatan, saya tetap harus mengiktui test masuk kerja. Saya harus menjawab berbagai pertanyaan sekitar wawasan, minat dan pengalaman dengan buku. Ketika Ibu Roswitha menguji saya tentang minat baca, dia tanya, “Suka Baca buku?” Saya jawab, “Suka”. “Buku apa saja yang sudah kamu Baca?” Saya sebutkan beberapa judul antara lain, ‘Dr. Zhivago’ dan ‘Burung-burung Manyar’. Beliau terkejut, dan kurang percaya, karena Dr. Zhivago tergolong bacaan yang berat, kemudian beliau meminta saya menjelaskan secara singkat tentang isi buku tersebut. Dengan lancar aku menceritakannya kejadian-kejadian di dalam kedua buku itu karena ceritanya masih segar dalam ingatan saya. Beliau sangat terkesan dengan jawaban saya dan langsung meminta kepada Pak Sjarifudin (Wakil Direktur PT. Djambatan, yang juga kerabat jauh ibuku) untuk mengurusi segala kebutuhan saya dalam mendaftar kuliah dan bekerja sebagai tenaga pemasaran di PT Djambatan. Ternyata membaca memang membawa nikmat!.
Saya kuliah di sebuah Universitas swasta di solo. Awalnya saya memilih Fakultas Hukum karena aku pikir saat itu - era pemerintahan Soeharto -- banyak sekali koruptor di Indonesia ini tetapi hampir tidak ada yang dipidanakan. Tetapi Ibu Roswitha berkehendak lain, beliau hanya akan mengizinkan kalau saya mengambil jurusan manajemen atau bisnis. Akhirnya, saya mengambil Ilmu Administrasi Niaga. Jadilah saya mahasiswa yang sekaligus pegawai bagian pemasaran PT Djambatan. Aku memperoleh tempat tinggal di paviliun kantor, gratis. Memperoleh upah yang cukup walaupun sebagian sudah disisihkan untuk biaya kuliah dan beli buku.
PT Djambatan adalah sebuah penerbit buku umum yang sebagian besar terbitan buku-bukunya dipakai di perguruan tinggi, seperti ilmu hukum (50%), teknik; arsitertur, mesin, sipil (20%), sastra dan budaya (20), sisanya peta/atlas, ilmu kedokteran dan lain-lain 10%. Buku-buku penerbit Djambatan lebih banyak bermain ditoko-toko buku seperti Gramedia, Gunung Agung dan toko buku tradisional lainnya serta sekali-sekali ada pembelian proyek pemerintah. Selesai S1 tahun 2001 saya menjadi manajer pemasaran. Potensi besar perusahaan waktu itu adalah Peta Jakarta Jabotabek dan City Map yang disusun oleh seorang Jerman, mantan Manager Lufthansa, Gunther W. Holtorf. Kelesuan penjualan buku reguler waktu itu karena maraknya pembajakan buku perguruan tinggi mulai tertolong dengan hadirnya peta-peta ini. Kerja sama Djambatan dengan Gunther W. Holtorf ini sangat solid. Setiap edisi selalu ditunggu-tunggu oleh pasar. Peta Jabotabek terbit setiap 1,5 - 2 tahun dengan tiras 80.000 eksemplar dan setiap edisi baru selalu ada data dan informasi baru yang sangat dibutuhkan oleh pemakai. Keunggulan Peta Jabotabek ini adalah selalu memberikan informasi baru tentang perumahan, gedung baru, perkantoran, jalan baru, rumah sakit, sekolah, pompa bensin bahkan sampai kepetunjuk jalan satu arah atau dua arah. Dengan kata lain, apapun yang terlihat dari foto udara atas Jakarta dan sekitarnya bisa Anda temukan dalam satu peta tersebut, bahkan bangunan jalan maupun gedung yang masih merupakan planning bisa dilihat lokasinya di dalam peta ini dan setiap edisi baru jangkauannya semakin meluas. Inilah keunggulan Peta Jabotabek dari Djambatan yang berhasil memanjakan para pemakainya.
Di era tahun 70 - 80 ramai penerbit menjadi distributor tunggal atas buku-buku sekolah yang diterbitkan oleh Inggris dan Singapura. Buku-buku pelajaran tersebut dipakai oleh hampir seluruh sekolah di Indonesia dan ketika itu baru satu dua penerbit yang mampu melakukan terobosan itu, di antaranya penerbit Djambatan. Memasuki awal tahun 80-an, mulai ada yang menjual bajakan atas buku-buku pelajaran tersebut dan juga sudah mulai ada penerbit lain yang menerbitkan buku yang mirip-mirip dengan buku-buku impor tersebut. Hal inilah yang kemudian lambat laun melemahkan kondisi pemasaran buku pelajaran import tersebut dan kemudian muncul lagi penerbit-penerbit pemilik percetakan besar yang menjual langsung buku-bukunya ke sekolah-sekolah dengan menghalalkan berbagai cara. Semenjak itu Djambatan tidak lagi bermain di buku pelajaran sekolah, karena tidak mampu lagi menyaingi cara-cara yang dipakai oleh penerbit-penerbit baru itu. Banyak penerbit lama seusia Djambatan yang gulung tikar karena kondisi tersebut, tetapi Djambatan, di bawah kepemimpinan Ibu Roswitha Pamuntjak, tetap berjalan dengan mengembangkan penerbitan buku umum dan semakin membaik dengan meningkatnya pemasaran Peta Jabotabek.
Tahun 2004 Ibu Roswitha Pamuntjak meninggal akibat kanker. Tahun berikutnya saya diangkat menjadi Kepala Divisi Usaha, setingkat di bawah Direktur yang waktu itu dijabat oleh Sjarifudin. Djambatan tetap berjalan dengan stabil dengan cermat menyiasati perubahan yang terjadi pada bisnis perbukuan dari waktu ke waktu.
Pada tahun 2003, seorang teman lama, Syaiful Zein, mengajak saya bergabung sebagai pengurus IKAPI DKI Jakarta, untuk menambah wawasan. Saya setuju. Tahun itu juga, di bawah kepemimpinan Bakry Yunus, saya menjadi pengurus Bidang Promosi dan Publikasi. Di kepengurusan berikutnya, dengan ketua Lucya Andam Dewi, saya menjadi Wakil Sekretaris. Impian kami, ingin lebih banyak memberikan kesempatan kepada anggota untuk mengembangkan diri. Di pameran kami memberikan kesempatan kepada anggota untuk berpromosi. Di bidang pendidikan sepanjang tahun hampir setiap bulan kami mengadakan diklat-diklat dengan biaya yang sangat murah dan nyaris gratis.
Tahun berikutnya saya kuliah pascasarjana (S2) jurusan marketing, selesai MM tahun 2008. Pada akhir tahun 90-an, setelah reformasi sosial politik, adalah momen kebangkitan penerbitan buku-buku Islam. Sejak itu saya ingin Djambatan lebih banyak menerbitkan buku-buku agama Islam dengan perhitungan, pasarnya luas, umur produk panjang dan sumber naskah tidak sulit. Tetapi orang-orang tua di Djambatan membutuhkan waktu terlalu lama untuk memahami perubahan itu, sehingga sampai pada suatu ketika seorang ulama mengajak saya bergabung untuk menerbitkan buku-buku Islam. Sang Ulama yang kami sebut saja Pak Umay M. Dja’far Sieddiq, MA. adalah seorang ilmuwan yang mendalami Al-Quran dan Sunnah, Memiliki keinginan yang sangat besar agar kualitas ibadah umat terus ditingkatkan. Telah banyak buku yang ditulisnya, tetapi masih sebatas hanya untuk memenuhi kebutuhannya dalam mengajar. Oleh karena itulah saya yang sudah berpengalaman di penerbitan buku ini diminta bergabung.
Tahun 2005 saya pensiun dini dari Djambatan dan mulai menakhodai penerbit buku agama Islam Al-Ghuraba, yang artinya “lain daripada yang lain” atau dengan kata lain, tidak mengikuti arus. Pada tahap awal kami tidak memelihara salesman atau ekspedisi karena buku terbitan kami belum banyak. Buku selesai dicetak dari gudang percetakan langsung dikirim ke gudang distributor, tanpa memerlukan gudang. Kami serahkan distribusi dan penjualan kepada distributor tersebut, setiap bulan kami menerima laporan penjualannya. Stock di toko buku bisa dikontrol melalui internet. Kami berusaha memenuhi target produksi buku rata-rata satu bulan satu buku, alhamdulillah sampai saat ini kami telah menerbitkan 60 judul buku.